Dynamic Blinkie Text Generator at TextSpace.net

Kamis, 28 Juni 2012

Brownies Kedua-Part 2

Kelas XI IPS 2 waktu jam istirahat. “Woi, Sal, mau ikut ke kantin gak loe?” Widma membuyarkan teman kami yang satu itu dari lamunannya. (akhirnya dia diceritain juga) “Eh, elo wid, sori-sori gua ngelamun, ayo aja. Lu mau bayarin?” Arsal balik bertanya. Pertanyaan klasik yang jawabannya selalu sama. “Kayak lo baru kenal gua kemaren aja! Iyalah gua bayarin!” Statementnya mantap gan! “Asiiik, lo emang dompet cadangan gua wid! Ayo..!” Ini agak nyindir loh. “Iye-iye,” Widma menjawab singkat. Banyak versi lain kata-kata itu yang sudah ia dengar dari teman-temannya yang lain juga. Termasuk aku. “Sip! Ayo caw!” Arsal bangkit dan berjalan di depan,” tunggu-tunggu, ajak si Munjad gak?” “Di amah pasti udah duluan! Ayo ah buruan… keburu masuk nih” . Di kantin. Aku sedang hanya (kurang efektif nih kalimatnya) menatap hampa pada teman-teman yang sedang menikmati nasib baik mereka mempunyai uang jajan lebih. Meratapi nasib yang hanya punya uang jajan yang cukup buat ongkos serta makan siang. Dan juga memaksa diri bersyukur, dengan hal yang seharusnya disyukuri (bersyukur namun meratap, ahhh) Begitu terpaku sampai kulihat sesosok malaikat pemberi rezeki datang. Sekejap saja membuat suasana begitu mellow. Terlihat begitu memelankan aktivitasnya sementara lagu-lagu slow mulai berputar. Wajahnyaa begitu bercahaya, dan alam sekitarpun mulai tampak sangat tenang. (ini alay serius deh) dan karena memang, ya, dialah malaikat rezeki ku yang datang atas perintah Tuhan untuk mengasihi kaum papa ini (lebay ‘nta ampun). “Oi, jad! Lo udah di sini rupanya?” Ujar Arsal duluan. “Iya, apa juga gua bilang sal…” Widma menggubris. “Ya, emang sih gua daritadi di sini, tapi kan..lo bisa liat sendiri men, tak berdaya dompet gua menghadapi bibi kantin..” Aku sok diplomatis. “Ah, gak usah banyak cincau deh, ambil gih,” Widma menggoyangkan kepala ke kanan. Pengganti jarinya untuk menunjuk kea rah makanan yang ada di kantin. “Asiiik, ayo sal!” “Eits, tapi lo jangan lupa, pesenan gue….” *jeda 5 menit* “Gak pake lama oke?” Aku menelan luda. Pun Arsal. “I..iya deh”. Aku dan Arsal berbalik. Meninggalkan malaikat itu di kursi yang telah ia pilih sendiri dengan langsung, umum, bebas, jujur, dan adil (kayak pemilu deh) “Bro, itu gak salah pesenan sebanyak itu? Lo hapal gak yang dia omongin tadi?” Aku bertanya pada Arsal. “Ya enggak dong, kan dia yang bilang sendiri, nih gua hapal. Mie Sarimi isi 4 dua porsi, the gelas 3 botol, terus pisang goreng, tempe, bakwan, terus… terus apa lagi yak?” Arsal menggaruk kepala. “Intinya kita pesen banyak aja deh sal, gua yakin dia juga gak hapal kok,” Aku berdiplomasi. “Iya-iya jad”. “Woi! Ngomongin apaan lo berdua? Buruan…!” Widma meneriaki kami dari belakang. “Ini Wid, inget-inget pesanan kamu tadi,” ujar Arsal. Jawaban yang membuat kami tidak berbohong kan? “Oh, iya-iya bagus, jangan lupa ya!” “Beres bos!” Aku tak mengerti mengapa tekadang orang yang baik terhadap kita tetap saja kita bicarakan kejelekannya di belakang kita. Entahlah, namun kalau yang ini emang udah keterlaluan sih. At last, okelah gak usah kita bahas. Walhasil, hari itu aku kenyang banget. Tapi sebelum kita pergi ke part selanjutnya cerita kedua ini, aku ceritakan sebuah hal freak kecil yang mungkin bisa kita ambil hikmahnya. “Mana uangnya wid?” Aku bertanya. “Oh, ini-ini,” ia mengeluarkan dompetnya, namun kosong. Hari itu, Widma lupa membawa uang cash, maklum, 2 hari yang lalu baru dikasih kartu kredit. “Alamak boi, ini gua lupa bawa uang cash. Gesek bisa gak ya?” ujarnya santai. “Maksud lo? Apaan digesek? Fisika?” Aku lugu bertanya. Masih agak gaptek walau udah setahun gak mondok. “Maksudnya kartu kredit jad…” Arsal menjelaskan sedikit. “Ohhh…” aku mengangguk (agar terlihat) paham. Akhirnya dengan segala tampang innocent dan merasa lebih gaul, kami bertiga mendatangi ibu kantin, bermaksud ingin membayar semua yang telah kami perbuat #eh? “Bu, ini kami ingin membayar, pake ini” Widma menyodorkan kartu kreditnya. Kartu kredit bank BCA yang limitnya palingan cuma 5 juta-an (ngeri limit kartu kredit kan?). Kami kira si ibu kantin tidak akan mengerti, lalu membiarkan kami untuk berhutang dahulu, tapi ternyata… “Kartu kredit ya? Maaf dik ibu gak ada alatnya, adik mendingan ke indomart dulu sana, tarik tunai! Baru bayar ke sini! Ibu gak terima hutang!” Damn! Tau aja dia. Akhirnya kami pun tarik tunai di Indomart. Membawa uang dalam jumlah yang cukup besar untuk membayar makanan kami tadi, kemudian mengeloyor pergi ke kelas masing-masing. Sungguh sebuah harga yang mahal. Namun mungkin tidak bagi si raja minyak Widma. Duitnya lancar. Dan begitu pulalah kehidupan boi, aku tanya. Ada 2 kubu di sini, kami si miskin yang meratap, dan Widma si kaya yang boros. Lebih baik yang mana? Pikirlah boi, lebih baik mana…. *** Aku kebetulan (sebenarnya emang takdir sih) sekelas dengan Ayi (kita kembali ke konteks awal). Dan takdirnya, aku dapat duduk pas di belakang dia. Alamak! Terkadang agak dag-dig-dug-seer juga ngelita tiap kali rambut dia tergerai. Macam Jessica Iskandar gituh. Di sini setiap kali ada kelas, selalu saja malaikat di kanan dan setan di kiri bertempur. Memperebutkan hati mantan santri sepertiku yang imannya masih terlalu mudah digoyangkan. Masih terlalu mudah diruntuhkan, terutama hanya untuk menikmati pemandangan indah sekilas di depan mataku. Ah! Sementara kita beralih topik saja ke beberapa hal yang lebih serius. Sekarang sudah satu tahun 2 bulan kawan, semenjak Arsal berkata, bercerita padaku tentang apa yang ia rasakan terhadap bidadari di depan mejaku ini. Semenjak ia memang mengizinkan rasa kagum itu bermetamofosa menjado cinta. Namun entah cinta seperti apa yang ia tafsirkan, karena ia menyagkut-putkan tanggung jawab. Dan aku pun kini mulai mengerti banyak hal lagi. Tapi satu masalahnya. Ini permainan apa? Aku bingung dengan dia. Banyak hal yang masih belum kumengerti tentang dia. Précis mungkin seperti Nabi Musa a.s dan Nabi Khidir a.s, yang melakukan perjalanan panjang namun aneh. Tak masuk akal. Aku sebenarnya memang ingin saja langsung bertanya pada Arsal tentang gerangan apa yang ia rencanakan untuk perbuat. Namun aku mencoba untuk tidak mengulangi kesalahan Nabi Musa a.s dahulu sehingga perjalanannya hanya dicukupkan sampai di situ. Ya, aku mencoba berpikir dahulu sendiri. Arsal, seingatku pernah berkata, ”let the questions answered by itself man..” yang membuatku merinding kala itu. Karena sebagian besar kata-katanya memang benar, meskipun ia bukan nabi. Oh ya kawan, aku lupa bercerita kalau aku menjadi sekertaris OSIS. Ya setidaknya DPH bersama Arsal juga. Dan pastinya sama Ayi. Kalau Widma? Jangan tanya, dia sih gak jadi apa-apa (hehe, namanya juga kan figuran di sini). Dan di sinilah klimaks dari cerita ini. Saat semua perasaan itu terbongkar, jelas dan rapih. Bermula dari rapat DPH ini. Dikarenakan sebuah kecerobohan kecil yang memang sudah ditakdirkan. Tapi coba kau pikir, Cinderellah menjadi putri juga karena ia ceroboh menjatuhkan salah satu sepatu kacanya bukan? Cerita ini hampir mirip. *** Rapat Mingguan DPH OSIS *Ini isi rapat yang gak penting menurut penulis, jadi kita langsung skip aja ke bagian yang pentingnya* “Eh, jad. Ini data-data yang harus kamu rapihkan dan ketik. Ada juga data-data tahun lalu yang harus kamu ketik ulang karena gak ada soft copynya. Sori ya aku gak bisa bantu, harus pergi ke Pembina untuk meminta izin proker kita ini,” lagi-lagi ini adalah penjelasan yang lembut dari Ayi. Perintah yang selalu membuatku keteteran untuk mencerna ‘ni gua gak bisa nolak’ yang akhirnya membuatku patuh selalu. Ah, dia emang ketua yang baiks deh. #ups. Aku menerima tumpukan kertas dari tangannya. Mencoba menyeimbangkan diri menahan beban tersebut sampai Ayi menimpali,” eh, lebay deh. Enteng kok”. Dan memang ternyata itu enteng *tengsin* “Eh, iya enteng ternyata….” Ya, kawan , dari situlah aku tahu semuanya. “Lo balik naek apa jad?” Arsal bertanya padaku saat aku berjalan pulang. “Oh, biasa gua naek angkot. Kenapa emang?” tanyaku balik. Tumben-tumbenan ntu anak nanya beginian. “Gua kasian aja ngeliat lu bawa ketikan berat-berat, mau gua anter gak naek motor gua?” tanyanya. Coba lu bilang kayak gini ke Ayi aja, huh, pikirku. “Eh, iya deh boleh,” aku sih meng-iya-kan aja. Lumayan kan gratisan? *dibuatagakdramatisnih* Sewaktu roda motor Arsal mulai secara perlahan membelah jalanan, aku telah siap dengan posisiku di boncengan belakangnya. Telah pas untuk selalu menyeimbangkan tubuh dari segala derajat kemiringan yang mungkin terjadi di saat motor melaju di tikungan atau apapun. Ya, sampai sebuah kemungkinan tipis terjadi. Di saat speedometer motornya membuat sebuah sudut yang agak besar, seekor kucing lewat di hadapan kami (aku masih inget tuh warnanya hitam). Hal tersebut otomatis membuat Arsal menarik dan menginjak (kan rem depan sama belakang sekaligus) pedal rem motornya. Mebuat kami berhenti mendadak sehingga sesuai hokum kelembaman Newton, kami terlempar ke depan. Sebenarnya bukan kami sih, tapi ketikan itu. Terlempar sehingga berceceran jatuh. Aku refleks turun dari motor dan memungutinya. Pun dengan Arsal. Satu lembar, dua lembar, tiga, namun yang keempat aku melihat lembar yang berbeda. ‘Saat penyair kehabisan kata-kata’ Aku membaca judul tersebut dengan perasaan setengah bingung. Ini naskah salah masuk yak? Kuputuskan untuk memberitahu Arsal. “eh sal, lu tau naskah ini kagak? Masuk tugas gue gak sih?” Aku menyodorkan naskah tersebut kepada Arsal. Kami pun membacanya berdua. Agak melupakan kertas-kertas lain yang masih berceceran. Katakanlah, cinta Kau adalah penyair kawakan Aku selalu menikmatimu dari kejauhan Menikmati setiap tutur kata lembutmu Yang bagiku semua Semua katamu adalah syair Namun katakanlah cinta Apakah kau penyair yang kehabisan kata-kata? Sampai selama ini aku tak pernah kau beritahu Syair terindahmu Saat kau katakan kalimat itu ‘Aku cinta kamu’ Coretan Curhatku sal, Ayi Kami berdua speechless kawan. Memaku pandangan kami pada tulisan sederhana itu. Mengetahui semua maksud dan apa yang tersembunyi selama ini. Arsal, kawanku. Dialah sang penyair yang disebut itu! Ya, kupikir memang barulah bila Ayi yang berkata seperti ini ia akan menjawab mengapa. Bukan aku yang bila bertanya akan hanya selalu ditanggapi dengan senyuman tipis. Dan seakan bumi berputar lebih cepat. Arsal memejamkan matanya, kemudian meneruskan pemungutan yang tadi sempat terhenti. Hey! Apa reaksinya? Tak ada. Setidaknya belum. “Ayo jid, kita pulang,” ujarnya setelah semua berkas beres. Ia memberikannya padaku dan kembali menaiki motor. Sementara itu, aku masih saja diam terpaku atas apa yang aku lihat kali ini. “Ayo! Kau mau pulang tidak?!” Arsal menaikkan suaranya. “Eh, iya,” segera kunaiki lagi boncengannya itu. Motor pun kembali melaju. Setidaknya kami perlu istirahat untuk hari ini. *** Jakarta 6 tahun kemudian… “Hei, jid! Masih kenal gua gak?” Aku tersentak oleh sebuah tepukan keras di pundakku. Refleks, aku menoleh ke belakang dan melihat apa yang tak kupercayai lagi selama bertahun-tahun. “Arsal?? Lo Arsal kan?” Semenjak kejadian ‘penyair’ itu, aku memang tidak pernah melihatnya lagi. Ia menghilang begitu saja. Membuat kami penasaran. Namun menurut informasi yang beredar, ia pindah ke Australia. Tinggal bersama pamannya di Melbourne. Melanjutkan studi yang lebih intensif di sana. Dan semenjak saat itu, aku tidak pernah percaya lagi dengannya. Semua yang pernah kami lakukan bersama. Semua petuah-petuahnya, semua hanyalah BULLSHIT! Jelas-jelas ia lari dari masalah. Tak ada kabar berita, ia seperti begitu takut dengan cinta. Ia seperti…. Ahh, seorang laki-laki yang tidak berani mengungkapkan cintanya?? PENGECUT. Aku mengumpatnya nonstop selama seminggu sehabis itu. Merobek semua foto yang kupunya tentangnya. Untuk apa punya teman yang seperti itu? Dan memang, bukan hanya aku, Widma juga, teman-temanku yang lain juga. Apa itu brownies?? Omong kosong! Aku tidak percaya lagi dengannya!. Terlebih lagi seseorang yang teluka. Seseorang yang selalu menunggu ia untuk mengungkapkan cintanya. Ayi yang selama ini selalu menunggu dengan sabar. Mengapa sang penyair tak pernah mengeluarkan kata-kata terindahnya? Aku juga hanya bisa menarik nafas. Setelah kelulusan, aku tak pernah bertemu dengan teman-teman lamaku di SMA. Walaupun tetap berkuliah di Jakarta, tak ada yang satu kampus denganku. Karena mereka kebanyakan memilih untuk mengambil kuliah di Luar Negri (maklum orang kaya). Dan aku sang korban takdir, tak bisa jauh-jauh berkuliah meninggalkan ibukota. Ayi melanjutkan kuliahnya di Singapura. Widma di Prancis. Dan yang lainnya entahlah. Aku tak terlalu memikirkan mereka. Kami menjalani kehidupan masing-masing. Berpisah entah sampai kapan. Dan hari itu, tepat 6 tahun semenjak insiden penyair tersebut, aku melihat Arsal kembali. Ya, dirinya masih utuh. Masih segar seperti dulu. Dan entah karena dorongan apa, pertama kali aku melihatnya lagi semua amarahku sirna. Luluh oleh kekuatan persahabatan yang kami miliki. Kami saling berpelukan. Erat sekali. “Oh ya, aku lupa memperkenalkan,” Arsal membawa seorang wanita,” dia istriku”. Dan aku terpaku melihat Ayi di sana. *** *santaibro,masihadalanjutannyakok* 03.07 AM Hasil buatan : M. Azzam Rofiullah - Pemenang Penulis Cerpen Juara 1 asal MTs. Husnul Khotimah Kuningan Jawa Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar