Kamis, 28 Juni 2012
Brownies Pertama-Part 1
And… perkenalkan kawan, namaku (masih) Munjad. Kisah ini adalah bagian kedua dari kisahku yang pertama, Brownies Terakhir. Bagi kalian yang sudah membacanya, kalian pasti tahu bahwa kisah ini bercerita tentang makna cinta.. Aku dahulu bukanlah orang yang suka berpikir dan berfilosofi tentang cinta. Namun entah mengapa takdir membawaku menjadi seorang saksi dalam kisah tentang rasa berlambang hati tersebut. Dan semenjak itulah akhirnya aku mulai memikirkan tentang makna cinta sebenarnya. Untuk kalian yang baru membaca, kuharapkan kalian tidak akan bosan dengan serial-serial brownies yang lainnya ya. Enjoy.
Kisah ini bermula saat aku mulai memasuki jenjang selanjutnya dalam karir pendidikanku. Jenjang SMA. Meski agak canggung saat pertama kali memakai seragam putih abu-abu, dalam beberapa hari saja aku sudah mulai terbiasa. Terlebih saat aku mendapat teman baru yang… unpredicted deh. Dikarenakan bersekolah di SMA swasta terkemuka di Jakarta (caelah gua gak mau sombong sebenarnya), ***school namanya. Kali ini aku berkenalan dengan Arsal. Kebetulan dia memang chairmate-ku, jadi otomatis dialah teman pertama yang aku kenal di sekolah ini. Orang kedua yang kukenal adalah Widma. Dia Treatmate ku, tahulaaah… yang suka jajanin maksudnya. Kebetulan di antara kami bertiga dialah yang mempunyai dompet paling tebal. Maklum, anak DPR. Hehe, terlalu baik dia.
Kamilah tiga sekawan baru yang termakan kata-kata dalam buku ‘sang pemimpi’. Berlagak seolah kami adalah Ikal, Arai, dan Jimbron. Tentu saja karena aku yang menceritakan kisah ini, maka akulah Ikal. Dan sesuai yang bisa kalian tebak, Arsal adalah Arai dan Widma adalah Jimbron. Ya, dan sepertinya memang kisah ini pun serupa. Aku kenal salah seorang teman sekelas—perempuan—namanya Ayi. Shahifah Wahyi. Si gadis primadona yang ternyata juga adalah anak bapak kepala sekolah kami. Dan seperti yang mudah kalian tebak pula, Arsal menyukai gadis itu. Sangat menyukainya sebagaimana Arai menyukai Zakiah Nurmala. Dan kali ini nama-nama itu memang terkesan mirip. Nama si tokoh laki-laki yang terkesan berani, juga nama perempuan yang terkesan anggun. Mungkin inilah regenerasi. Arai menjadi Arsal, Mala menjadi Ayi. Ah, entahlah.
Namun kisah ini beda dengan cerita di novel itu, kawan. Dan lagi-lagi melibatkan brownies. Oke-oke, mari kita mulai saja awal ceritanya.
Hari pertama bersekolah, seperti yang sudah kuceritakan, aku pertama kali mengenal mereka berdua, Arsal dan Widma. Baru setelah itu perkenalan di depan kelas yang kami lakukan membawaku pada nama-nama lain. Termasuk nama itu, ya.. Shahifah Wahyi. Nama yang meretakkan hati Arsal saat pertama kali melihatnya. Garis bawahi ini, ‘saat pertama kali melihatnya’. Munkin di antara kalian ada sebuah pedebatan, apakah benar bahwa love in first sight itu benar adanya? Masa’ baru pertama kali langsung jatuh cinta gitu? Aku punya jawabannya kawan.
6 bulan setelah itu, aku mengetahui bahwa sejak awal Arsal masih menyukai gadis itu. Sampai sekarang, dan mungkin di dalam pikirannya, ‘sampai kapanpun’.
Begitu eloknya rasa itu, Arsal masih menyimpannya erat. Meskipun aku tahu, sangat tahu, seperti yang telah dilakukan banyak teman-temanku, ia ingin menyatakannya. Memang banyak teman-teman yang sudah melakukan hal itu, dan mereka—entahlah—ada yang berpacaran, TTM, atau masih banyak istilah baru yang tak aku mengerti. Ada-ada saja anak muda zaman sekarang.
Orang berkepribadian seperti Arsal yang menyukai tantangan entah mengapa ciut saat berhadapan dengan hal ini. Aku pun sebagai teman baiknya tak mengerti. Yang kutahu memang hanya sebatas itu, ya, tak banyak isi hatinya yang ia curahkan.
Emm, mengenai Widma, biarkanlah ia berlalu ya, tak usah kita ceritakan dahulu. Nah, kembali lagi kepada Arsal. Asal kau tahu kawan, dalam 6 bulan pertama kami, kami telah melewati berbagai macam hukuman yang memang sebenarnya sih gara-gara salah kami sendiri. Aku yang terbawa oleh pemikiran Arsal. Yang tak monoton, selalu mencoba hal-hal baru, yang kenyataannya selalu saja membawa sial. Arsal dengan entengnya menjawab ketika ditanya. “Buatlah kenakalan, asalkan itu kenakalan yang cerdas”. Kami memang terkadang melewati hari dengan berbagai macam percobaan unik. Yang orang lain sebut itu kenakalan. Namun di atas semua itu Arsal memandangnya dari sudut yang berbeda. (lagi-lagi) Entahlah.
Kuberi contoh. Kami membuat sebuah alat pengukur tekanan angin sederhana yang kami pelajari dari buku alat-alat fisika di perpus. Lalu Arsal bersikeras untuk mencobanya ke salah satu ban mobil di parkiran sekolah. Aku pun menyerah dan mengikuti sarannya setelah beberapa saat mengadu argumen. Pada saat yang tepat, kami pun melakukan pengetesan tersebut. Tanpa kami sadari ternyata alat itu malah menurunkan terkanan yang ada dalam ban mobil tersebut, tanpa bisa menaikkannya. Akhirnya dengan segala perasaan bersalah yang kami sembunyikan, kami pergi tanpa permisi, meninggalkan ban tersebut teronggok tak berdaya tanpa tekanan angin. Kempes kerontang (emang ada ya?). Nahasnya, percobaan kami tersebut ketahuan, dan yang lebih parahnya lagi, mobil tersebut ternyata adalah milik kepala sekolah! Aduh tengsin deh. Bapaknya Ayi tuh. Walhasil kami pun di sidang di ruangan beliau sepulang sekolah. Galak banget gila. Gak kebayang kalo punya mertua kayak gitu (ini kok tiba-tiba bahasanya gak formal ya?). Singkat cerita, akhirnya kami pun dibebaskan setelah Ayi datang dan mengajukan banding (hoho). Ayahnya tersebut dengan lembut ia redakan amarahnya, dan kami disuruh bertanggung jawab dengan mendorong mobil tersebut ke bengkel terdekat -_- (ini pake emot lagi).
Begitulah, semenjak kejadian tersebut kami menjadi dikenal oleh kepala sekolah. Kalian pasti tahu konsekuensinya kan, kalau terkenal seperti itu? Maksudnya kami sudah di-cap sebagai anak kurang ajar yang… ya begitulah. Terkenal buruk.
Di sisi lain semenjak kejadian tersebut Arsal mengalami ‘ls’ yang mulai memasuki stadium lanjut. Hanya gara-gara dapat senyuman “sabar ya, jangan diulangi, ayah emang gitu kok” dari Ayi. Huh.
Sebenarnya itu kejadian 2 bulan yang lalu. Yang membuat Arsal seolah-olah berada di atas angin. Padahal memijak tanah saja belum benar. dan sekarang, 6 bulan semenjak rasa cintanya pertama kali tumbuh, Arsal tetap hanya bisa menutup mulut. Mengunci hatinya, walaupun sebenarnya ingin. Aku sebenarnya tak mengerti apa yang ada dalam pikirannya, hingga suatu saat ia berkata padaku. Menjelaskan perihal perkara ini. Dan ini pulalah jawaban kalian.
“Boi, gue tau apa yang lagi loe pikirin” ujarnya saat istirahat sekolah padaku.
“Emang apaan sal?” aku bertanya.
“Lu pasti lagi mikirin jorok kan?”
“Ett buset dah lu, gua kan dulu santri, kagaklah masalah begituan mah”.
“Hahaha,” ia tertawa,” Ialah gua kan cuman bercanda”.
“Eh tapi Sal, ia sih gua emang lagi mikirin sesuatu”.
“Hmm, apaan tuh?”
“Gua lagi bingung Sal”.
“Iya bingung kenape?”
“Gua bingung, bisa gak sih orang jatuh cinta pada pandangan pertama. Maksudnya tuh kan… ya begitulah, lu pasti ngerti”.
Ia menggaruk kepala sebentar,” ah bilang aja lu mau tentang gue sama Ayi kan?”
Oi, ketebak,” haha, tau juga lu. Tapi pertanyaan tadi”.
“Begini boi, tiap orang itu bukan jatuh cinta pada pandangan pertama. Makna cinta tuh luas. Gak mungkin dia langsung ‘ada’ begitu aja. Perlu proses. Jadi tepatnya kalo lu liat cewe pas pertama kali, perasaan itu bukan cinta. Lu hanya sekedar ‘kagum’. Entah sama kecantikannya, atau pada kepintarannya, atau lu malah kagum sama kejelekannya, terserah lu, kan itu selera lu. Nah, yang jadi masalah adalah, ‘apakah kita membiarkan rasa itu berlarut atau enggak’. Kalau lu biarin itu menguap begitu aja, yaudah hilang tuh rasa. Tapi ketika kita ‘mengijinkannya’ untuk tumbuh, maka dia akan berproses dengan sendirinya, dan lama kelamaan baru deh tuh cinta tumbuh”.
Aku terbengong, masih terpaku dengan penjelasan panjangnya tentang cinta,” terus kalo lu ama Ayi itu cinta bukan?” ini pertanyaan spontan.
Kulihat pipi Arsal memerah,” kau tahu, masalah cinta adalah masalah ‘tanggung jawab’. Kau lihat aku orang yang bertanggung jawab?”
“Emm.. menurutku kau tidak bertanggung jawab sama sekali malah. Belum tepatnya”.
“Nah, kalau begitu tinggal kau pikir, apakah rasa milikku itu cinta atau bukan”.
Percakapan ditutup.
Arsal pergi keluar kelas, meninggalkanku dengan segepok pertanyaan baru. Ini kok malah pergi ke masalah tanggung jawab? Ah, aku memang harus lebih banyak belajar. Kemudian gelap. Aku tertidur. (Ini gaje)
***
*Ini sebenarnya bingung, bagaimana cara mengaitkan cerita ini dengan brownies ya?*
Hari-hari berlalu begitu saja. Arsal masih tetap seperti biasa, tak berubah. Aku juga seperti biasa aja. Perasaanku mengatakan bahwa hanya sedikit yang berubah dalam waktu dekat ini. Sudah semester 2. kami mengikuti program penjurusan. Aku, tentu saja mengambil IPA. Namun entah mengapa si idiot Arsal malah mengambil jurusan IPS, padahal kemarin sewaktu semester 1 ia ranking 2 di kelas. Rangking 1 nya? Ya tentu saja aku. Hohoho.
Tapi ini serius, itu kok si idiot malah mengambil IPS yak? Aku bingung sendiri jadinya. Teman-teman juga. Di benak kami IPS bukanlah jurusan apa-apa. Ia hanya jurusan yang dimasuki oleh orang yang sudah kepepet tidak bisa berhitung, dan isinya sudah pasti orang-orang yang terbelakang nilainya.
Namun ketika ditanya alasannya, Arsal hanya tersenyum. Aku merasakan ada sesuatu yang ia sembunyikan. Sesuatu yang besar yang mungkin akan jadi kenakalan kami selanjutnya. Ah, biarlah. Masalah dia ini.
Waktu pun terus bergulir. Kami menginjakkan kaki di kelas 2 SMA. Akan ada pemilihan ketua OSIS dalam waktu dekat ini. Dan aku sudah pasti bisa melihat siapa kandidat terkuat. Arsal.
Ya, siapa lagi?
Ini ceritanya aku menjadi ketua tim suksesnya dia. Di sekolah kami memang ada semacam kampanye untuk menjelaskan visi misi bagi tiap calon ketua OSIS. Namun ternyata di luar dugaan, ada kandidat kuat lain. Siapa? Siapa lagi kalau bukan si bidadari anak kepala sekolah itu.
Ayi mendapat dukungan dari sebagian besar anak perempuan. Mereka memang mengenal pribadi Ayi yang selalu mensupport siapapun dan mampu menjadi teman yang baik dalam keadaan apapun ^ingat pembelaan dia saat kami disidang?^. Caelah, pikirku, memang dibandingkan Arsal yang hanya mengandalkan karismanya sebagai orang yang ‘dituruti’ sama anak-anak ^karena memang kebanyakan pemikirannya itu asik^ Ayi lebih memiliki kesempatan untuk menang. Namun aku sebagai ketua tim sukses tak mau mengalah begitu saja. Maka aku sudah menyiapkan scenario untuk kampanye nanti. ^ini sebenarnya ide Arsal sih^
And when the show goes on, aku melihat dengan jelas bagaimana hal itu terjadi. Sebuah sentuhan yang Arsal lakukan untuk menjelaskan dengan baik visi misinya. Membuat segala hal tampak sederhana. Cermatilah kawan.
“Dan untuk kandidat selanjutnya, Arsal, dipersilahkan untuk maju ke depan..” Ujar MC, menggema ke seluruh aula yang menjadi tempat acara kampanye berlangsung. Semua hadir di sana. Kecuali kakak kelas tentunya. Kami selaku tim sukses agak deg-degan tentu saja.
Arsal bersungut dari tempat duduknya dan berjalan tegap ke depan podium. Para siswa melihat terpaku. Tentu saja. Dia kan yang suka melanggar itu. Teman baikku tersebut membawa sebuah kotak hitam, yang sudah kami persiapkan sebelumnya.
“Assalamualaikum wr. wb. Hadirin yang terhormat. Perkenalkan, nama saya Arsal. Saya di sini ingin menyammpaikan kepada kalian semua tentang visi misi saya bila terpilih menjadi ketua OSIS tahun ini,” ia mengucapkan kata-kata itu dengan lancer.
“Visi misi saya adalah ini,” ia berujar sambil membuka bungkusan yang menutup kotak yang ia bawa,” sebuah brownies”.
Hadirin berbisik-bisik.
Idih, apa nyambungnya?
Walahh, ni anak udah gila apa? Masa kue jadi visi misi
Serius tuh.
Aku melihat wajah Arsal terias senyum,” tentu saja, mungkin hadirin sekalian heran, mengapa brownies? Maka izinkan saya menjelaskan filoshofi brownies ini,” ia agak menarik nafas, pun aku,” as we know, brownies awalnya adalah sebuah kue yang dianggap gagal. Gagal karena penciptanya lupa memberikan baking powder pada saat membuatnya. Namun oleh penciptanya, brownies diperkenalkan sebagai kue yang memiliki sebuah cita rasa yang khas, sehinnga orang-orang kini dapat mengenalnya sebagai sebuah kue yang populer karena memang, ia sangat enak”.
“Begitu pulalah visi misi saya. Saya akan berbuat sebagaimana seorang pencipta brownies yang selalu melihat segala sesuatunya dari sudut pandang yang lain. Saya akan mengubah sisi negative dari segala sesuatu dan melihatnya dari kacamata yang berbeda”.
Dan ini kalimat pamungkasnya,” Saya akan mengubah segala kesalahan yang tadinya tidak dianggap, untuk menjadi hal yang bisa memajukan sekolah kita ini. Saya ‘akan’, terima kasih. Assalamualaikum”.
Dan begitu saja Arsal turun dari podium, diiringi riuh tanda tangan dari para penonton. Oke, ini adalah sebuah kampanye paling ‘memorial’ bagiku. Paling visual. Yang tidak ribet, singkat, padat, dan mudah dimengerti. Aku yakin, sebagai ketua tim sukses Arsal, kami akan menang dalam pemilihan ini.
Kini giliran Ayi. Oke, mari kita lihat apa yang dia punya untuk mengalahkan kami. Let’s see.
“Assalamualaikum wr.wb”.
Kubu pendukungnya menjawab salam itu dengan antusias. Bukan antusias mungkin, tapi histeris *maklumkanmayoritascewek*
“Perkenalkan nama saya Shahifah Wahyi. Di sini saya akan menyampaikan visi misi saya sebagai calon ketua OSIS tahun ini”.
Iya apa?? Aku sudah tidak sabar. Kulihat Arsal hanya tersenyum menatap pujaan hatinya itu berbicara. Dan hal yang tak kusangka itu ternyata ada.
“Saya akan menunjukkan kepada kalian, ini,” ujarnya sambil memegang ujung matanya dengan jari telunjuk. Dan yang tidak kami duga, setetes air jatuh dari ujung jari telunjuk lentiknya tersebut.
“Ini adalah air mata saya,” suaranya agak sengguk deh,” lambang dari sebuah pengorbanan yang akan saya lakukan untuk sekolah ini. Kalian bisa lihat sendiri, saya akan melayani kalian dengan sepenuh hati, dan seperti yang kalian tahu, itu tadi sudah mewakili semua visi yang telah kandidat lain sampaikan pada kesempatan kali ini. Kerja yang sepenuh hati. Terima kasih. Assalamualaikum wr.wb”.
Ya, dan kali ini riuh rendah kembali terdengar dari pertemuan kedua telapak tangan yang ditepuk. Namun lebih keras. Lebih ramai, dan pastinya lebih histeris dari saat giliran Arsal.
Ah, memang.
Vote pun dimulai. Aku tahu ini akan jadi bagian yang paling menentukan untuk kelangsungan semuanya. Aku masih melihat Arsal yang memegang kotak browniesnya erat. Menunggu hasil yang akan kami peroleh. Dan… jreng-jreng!! (alay amat) resultnya adalah:
Peringkat 1: Shahifah Wahyi
Peringkat 2: Arsal bin fulan (:p nama yang ngasal)
Peringkat 3: Kandidat lain
Peringkat 4: Kandidat lain
Oh, damn! Kami kalah!
Aku menatap Arsal yang hanya tersenyum melihat hasil penghitungan suara tersebut. Jelas, sebenarnya peringkat dua akan tetap menjadi wakil ketua OSIS. Namun tetap saja kan target kami peringkat satu? Ini mengecewakan!
“Sal, kita belum menang,”ucapku.
“Kau tahu jad?” ia malah bertanya begitu.
“Apa?”
“Ayi memang pantas menang”.
“Tapi kan?...” Aku tak digubris.
Arsal berdiri dan menghampiri Ayi yang sedang dihujani salam selamat dari para pendukungnya. Ada yang memeluk malah. (aduh pengen dipeluk juga nih jadinya) #ups.
“Ayi?” Arsal berkata. Membuat orang-orang yang tadinya ramai menjadi diam. Sunyi senyap speechless melihat kedatangan Arsal #terlaludramatisgak?
Aku sudah berpikir jauh aja tuh. Kukira Arsal akan menyatakan cintanya sekarang. Momentnya dapet sih. Tapi kan… ternyata emang aku salah.
“Selamat ya, ini buat kamu,” Arsal menyodorkan kotak brownies itu,” selamat jadi partnerku, semoga kita bisa bekerja dengan baik kedepannya”.
Alamak! Ternyata kayak gitu.
“Oh iya-iya, kamu jadi wakil ya? Sama-sama! Nanti kita jadi partner oke?” Ayi memang hangat. Ia terima kotak itu dan menjabat tangan Arsal. Tak terlihat sedikitpun tenda-tanda paksaan dalam senyum indahnya. Dan harus kuakui juga, ia manis. #ohjangansampeguajatuhcintasamadia
Dan itulah sekilas cerita tentang brownies pertama. Tunggu kelanjutan ‘apa yang akan terjadi’ pada brownies kedua. Insya Allah gak lama kok terbitnya. :)
*inimalahjadiseriallagi-_-*
***
(ADA LANJUTANNYA)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar